![]() |
Gazza Triatama Ramdhani, pegiat aksara Kawi asal Jember |
Berita Nusra - Jember bukan sekadar nama kabupaten. Ia menyimpan jejak sejarah panjang dengan warisan budaya dan intelektual yang luar biasa. Dari kesadaran inilah, sejarawan muda asal Jember, Gazza Triatama Ramdhani, menggagas konsep kreatif bertajuk “Mangadhyayaksara”—sebuah gerakan yang mengajak masyarakat untuk mempelajari, membaca, dan mengkaji aksara kuno demi mengenal lebih dekat identitas daerah.
Fokus utama gerakan ini adalah Prasasti Congapan, peninggalan berharga dari era klasik yang ditemukan di Tanggul, Jember. Bertarikh 1010 Saka (1088 M), prasasti ini menggunakan aksara Jawa Kuna bergaya Kawi Kwadrat dan merekam kehidupan masyarakat desa pada masa Raja Airlangga. Meski bernilai tinggi, prasasti tersebut belum banyak dikenal publik.
“Melestarikan bukan sekadar menjaga huruf tua, tetapi menghidupkan roh peradaban Nusantara agar tetap relevan,” ujar Gazza. Melalui Mangadhyayaksara, ia tak hanya mengajak masyarakat mengenal aksara Kawi, tetapi juga merasakannya secara langsung. Dalam kegiatan ini, peserta akan belajar membaca, menulis aksara Kawi, hingga mempraktikkan penulisan di daun lontar menggunakan pangrupak—sebuah pengalaman yang merevitalisasi kearifan lokal.
Untuk memperkaya wawasan, Gazza menggandeng Drs. Ismail Luthfi, M.A., seorang ahli epigrafi berpengalaman. Kolaborasi ini diharapkan memberi pemahaman mendalam, tidak hanya tentang teknik membaca huruf Kawi, tetapi juga nilai-nilai moral, sosial, dan budaya yang terkandung dalam prasasti. Dalam Prasasti Congapan, misalnya, tercatat pentingnya harmoni desa, pembagian hasil yang adil, dan penghormatan terhadap aturan kerajaan—nilai-nilai yang tetap relevan di era modern.
Selain dimensi edukasi dan sejarah, Mangadhyayaksara membuka peluang pengembangan budaya dan pariwisata. Wisatawan tidak hanya diajak melihat prasasti, tetapi juga mengalami proses belajar membaca Kawi. Pendekatan ini diyakini dapat memperkuat citra Jember, bukan hanya sebagai kota festival, tetapi juga sebagai pusat kajian aksara Nusantara.
Gazza menegaskan bahwa Mangadhyayaksara adalah gerakan jangka panjang. Ia membayangkan lahirnya ruang belajar komunitas, workshop aksara, hingga aplikasi digital yang mengajarkan huruf Kawi kepada generasi muda. “Sejarah tidak boleh berhenti di ruang kuliah. Ia harus hidup di tengah masyarakat,” katanya.
Semangat anak muda untuk merawat warisan sejarah seperti ini patut diapresiasi. Dengan dukungan akademisi dan komunitas budaya, Mangadhyayaksara diharapkan menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan serupa di berbagai daerah. Lebih dari sekadar kegiatan, Mangadhyayaksara adalah jembatan yang menghubungkan masyarakat modern dengan jejak leluhur, menjadikan prasasti bukan hanya batu berukir, tetapi naskah hidup yang memberi inspirasi lintas generasi.