BERITA NUSRA.ID- Menjelang berlakunya KUHP dan KUHAP terbaru bersamaan dengan Undang-Undang Penyesuaian Pidana pada 2 Januari 2026, praktisi hukum mulai memberi sorotan tajam terhadap dampaknya bagi masyarakat dan penegakan hukum. Salah satunya adalah Ketua DPC Peradi Singaraja, Kadek Doni Riana, S.H., M.H., yang menilai regulasi baru ini membawa dua sisi: kemajuan besar sekaligus potensi masalah.
Doni Riana memandang perubahan ini memberi “angin segar” karena pendekatannya lebih humanis dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia. Ia menjelaskan, masyarakat kini tak perlu lagi merasa takut berhadapan dengan aparat penegak hukum karena pendampingan hukum diperbolehkan sejak tahap awal, bahkan saat seseorang masih berstatus saksi. Keberatan warga wajib dicatat, proses pemeriksaan dipantau, termasuk dengan penggunaan CCTV.
Di sisi lain, ia menekankan pentingnya penguatan mekanisme Restorative Justice. Untuk perkara ringan, proses hukum lebih diarahkan pada perdamaian dan pemulihan, bukan semata-mata pemidanaan. Menurutnya, langkah ini merupakan kemajuan besar demi melindungi masyarakat.
Namun, Doni Riana juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap kewenangan penyidik kepolisian yang dinilai semakin kuat dalam aturan baru ini. Ia mencontohkan, penangkapan dan penahanan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dalam kondisi tertentu. Baginya, kewenangan sebesar ini dapat menjadi celah penyalahgunaan, apalagi jika tidak dibarengi integritas penyidik yang kuat.
Dengan dua alat bukti yang dianggap cukup oleh penyidik, seseorang sudah dapat langsung ditahan. Karena itu, ia menegaskan pentingnya pengawasan ketat agar penyidik tidak berubah menjadi “super body”.
Doni turut menyoroti budaya penegakan hukum yang masih kerap berjalan otomatis: tersangka hampir selalu berujung menjadi terdakwa, dan terdakwa menjadi terpidana. Ia mengkritik kurangnya keberanian aparat untuk menghentikan perkara yang lemah secara pembuktian, serta keberadaan kasus “pesanan” yang dipaksakan untuk memenuhi kepentingan tertentu.
“Kriminalisasi bisa terjadi jika fakta diputarbalikkan,” tegasnya. Menurut Doni, jika bukti tidak cukup, penyidik dan penuntut harus berani menghentikan perkara (SP3), bukan memaksanya tetap berjalan.
Mengakhiri pernyataannya, Doni menyerukan agar momentum pemberlakuan KUHP dan KUHAP baru menjadi titik kebangkitan bagi integritas advokat dan aparat. Dengan teknologi dan prosedur baru yang semakin transparan, ruang permainan hukum semakin sempit.
Ia mengingatkan penegak hukum untuk bekerja lebih profesional, karena risiko untuk digugat balik kini jauh lebih besar. Ia juga mengajak masyarakat untuk semakin cerdas dan berani menggunakan hak-haknya.

%20(1).png)

