BERITANUSRA.ID - Fenomena pernikahan dini masih menjadi persoalan serius di tengah masyarakat Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur. Tidak sedikit pasangan muda yang telah melangsungkan pernikahan, namun kemudian tersandung urusan administrasi kependudukan (adminduk). Mulai dari pencatatan pernikahan, penerbitan Kartu Keluarga (KK)A, hingga akta kelahiran anak kerap terhambat lantaran proses perkawinan tidak tercatat resmi sesuai ketentuan hukum.
Pernikahan dini sendiri umumnya terjadi karena beragam faktor. Selain keterbatasan ekonomi, banyak warga yang menikahkan anaknya atas dasar menjaga harga diri keluarga dan kultur masyarakat yang masih kuat mengakar. Dalam tradisi lokal, menjaga kehormatan keluarga menjadi alasan yang dianggap benar dan wajar, meskipun secara hukum negara sering kali berujung pada persoalan baru.
Secara aturan di Indonesia (UU No. 16 Tahun 2019, perubahan atas UU Perkawinan), usia minimal menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Jika pernikahan dilakukan di bawah usia tersebut, maka diperlukan dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. Tanpa adanya dispensasi, pernikahan tidak dapat dicatatkan di KUA dan akan menimbulkan kendala dalam penerbitan dokumen kependudukan.
Kanit Capil Jerowaru, Sutaman, menyampaikan rasa prihatinnya terhadap kondisi ini. Menurutnya, masih banyak warga yang belum memahami regulasi terkait pencatatan pernikahan dan aturan hukum mengenai batas usia menikah. Keprihatinan itu semakin besar karena bukan hanya persoalan ketidaktahuan aturan, tetapi juga ketidakpahaman masyarakat terhadap prosedur yang harus ditempuh, khususnya dalam mengurus sidang itsbat nikah di Pengadilan Agama.
“Kami melihat sendiri bagaimana masyarakat kita kesulitan mengurus dokumen hanya karena kurang memahami aturan. Banyak juga yang bingung bagaimana mengajukan itsbat nikah ke pengadilan, sehingga perkawinannya tetap tidak tercatat resmi. Akibatnya, banyak anak yang akhirnya tidak memiliki akta kelahiran lengkap, dan itu berdampak pada masa depan mereka, termasuk dalam pendidikan maupun akses bantuan sosial,” ungkap nya pada Rabu (24/9/2025).
Senada dengan itu, Kawil Badui, Irfan juga menyuarakan keresahan yang sama. Ia menilai bahwa masyarakat di tingkat bawah sangat membutuhkan solusi praktis dan terjangkau. Menurutnya, program kolektif seperti itsbat nikah massal, sidang keliling, atau layanan jemput bola yang melibatkan semua stakeholder, mulai dari Pengadilan Agama, Kementerian Agama, Dukcapil, hingga pemerintah desa dapat menjadi jawaban agar warga tidak terbebani prosedur yang rumit maupun biaya yang besar.
“Harapan kami, ada program kolektif yang langsung bisa menjangkau masyarakat desa. Jangan sampai hak-hak mereka terhambat hanya karena faktor ketidaktahuan atau keterbatasan akses. Dengan adanya langkah kolektif yang melibatkan semua pihak, mereka bisa memperoleh dokumen resmi dengan mudah,” ujar nya.
Dorongan untuk menghadirkan program kolektif ini dinilai sangat penting. Selain untuk membantu masyarakat yang sudah terlanjur menikah dini, juga sebagai bentuk edukasi hukum agar kasus serupa tidak terus berulang. Melalui pendekatan yang sederhana, menyentuh langsung, dan melibatkan pihak-pihak terkait mulai dari Pengadilan Agama, KUA, Dukcapil, hingga pemerintah desa, program kolektif diharapkan mampu menjawab kebutuhan nyata masyarakat Jerowaru.
Langkah ini sekaligus menjadi bukti nyata bahwa kehadiran negara tidak hanya sebatas aturan di atas kertas, melainkan hadir langsung di tengah masyarakat yang paling membutuhkan.